Teriakkan Penyintas Pemerkosaan yang Terbungkam

 

“Perlakukanlah sesamamu sebagaimana kamu ingin diperlakukan” adalah sebuah peraturan universal yang disetujui oleh manusia yang berakal sehat. Akan tetapi, ada saja orang-orang yang melupakan hal ini. Orang-orang tersebut dengan mudahnya melakukan hal tidak senonoh demi memuaskan nafsu nya dengan mengorbankan martabat orang lain. Ironisnya, mereka dapat dengan mudah melakukan hal ini dan dapat mencuci tangannya begitu saja. Sedangkan “korban” harus menanggung rasa lara yang disebabkan oleh manusia belang tersebut dan harus memperjuangkan keadilannya sendirian dengan tidak ada jaminan apapun. Tragedi ini masih banyak sering terjadi di negara ini dan mulai terungkap dengan adanya kasus pemerkosaan di tempat perlindungan perempuan. Negara ini butuh mengalami kesadaran massal agar dapat menghargai perempuan-perempuan lebih lagi. 


Rumah aman yang memberikan keamanan yang semu 
Negara Indonesia masih berada di bawah bayang-bayang sistem kultural masa lalu yang bobrok. Sebuah sistem yang memandang rendah perempuan. Efeknya masih terasa hingga saat ini. Perjuangan para pejuang emansipasi wanita tidak sia-sia, memang sudah ada perubahan yang cukup signifikan dalam cara masyarakat memperlakukan wanita. Kini wanita sudah diakui setara dengan laki-laki. Namun bekas-bekas pandangan kolot tetap ada. Wanita masih sering dipandang sebagai sebuah objek pemuas hawa nafsu. Tidak ada wanita yang terjamin aman dari tangan-tangan hidung belang yang ingin memuaskan nafsu syahwatnya. Hal ini terbukti dengan sebuah kejadian tragis yang terjadi di rumah aman milik Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2PT2A) di Lampung. 
Grayscale Portrait of Woman

Sepekan yang lalu, Indonesia digemparkan dengan kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh kepala UPT Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur kepada seorang remaja putri berinisial N (14).  Orang tua N mempercayakan putri mereka untuk diberi perlindungan oleh P2TP2A setelah putri mereka diperkosa. Ironisnya, putri mereka malah diperkosa oleh sosok yang memiliki kuasa untuk melindunginya. Kejadian tersebut terjadi di tempat yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi perempuan, yaitu “rumah aman”. Lebih lagi, ketua UPT P2TP2A berniat untuk “menjual” N kepada orang lain. Orang tua N merasa sangat kecewa kepada perbuatan bejat ketua UPT. Ia mengatakan bahwa seharusnya anaknya dilindungi bukan dipaksa melakukan perbuatan seperti itu. 

Kejadian yang terjadi di tempat perlindungan perempuan ini membuat kita sebagai perempuan semakin merasa tidak aman hidup di negara ini. Di tempat yang seharusnya menjadi tempat berlindung saja tidak ada jaminan bahwa kita akan diperlakukan sebagai manusia bermartabat. Bagaimana mungkin ada perempuan yang mau untuk mencari perlindungan jika ia diperlakukan tidak senonoh bila pada akhirnya ia terancam juga. Hal ini dapat membuat perempuan semakin enggan untuk mencari perlindungan. 

Diskriminasi penegak hukum terhadap penyintas pemerkosaan
Selain tidak merasa aman di tempat aman, perempuan juga mengalami diskriminasi ketika mencari perlindungan kepada lembaga hukum. Mereka rentan mengalami diskriminasi. Pada tahun 2017, Jendral Tito Karnavian menyatakan bahwa penyidik perlu mempertanyakan apakah “korban nyaman atau tidak ketika diperkosa”. Selain itu, penyintas pemerkosaan akan melalui serangkaian proses pengecekan apakah mengalami pemerkosaan atau tidak. Kasus pemerkosaan akan dideterminasi berdasarkan hasil visum alat kelamin penyintas pemerkosaan. Bila tidak terdapat tanda-tanda pemberontakan, maka kasus tidak dapat dijadikan sebagai kasus pemerkosaan. Bila terjadi pada orang yang berusia 18 tahun ke atas dan belum menikah, kasus yang dianggap “kurang memiliki bukti yang cukup”, kasus tersebut akan disimpulkan menjadi kasus persetubuhan. Pelaku pun dapat bebas. Proses visum pun dipungut biaya dan hanya gratis jika dilakukan di RS Polri atau pemilik BPJS. 

Lewat proses panjang yang tidak efektif ini membuat banyak kasus pemerkosaan yang terkubur begitu saja tanpa keadilan. Sebuah survei yang dilakukan oleh Lentera Sintas menunjukkan bahwa 93% kasus pemerkosaan yang terjadi di Indonesia tidak terlapor. Mayoritas responden mengungkapkan bahwa alasan mereka mengurungkan niat mereka untuk melapor karena dipengaruhi oleh rasa takut akan akibat yang mereka harus tanggung jika melapor. Mereka khawatir orang-orang akan menyalahkan mereka. Komnas Perempuan berkesimpulan bahwa tingginya angka yang tidak mau melapor membuktikan kepercayaan rakyat yang rendah kepada penegak hukum negara. Bagaimana akan percaya bila untuk melapor saja kita akan ditembaki pertanyaan tidak masuk akal dan harus melakukan prosedur “pengecekan” tanpa jaminan bahwa kita akan dilindungi. Ditambah lagi, tempat perlindungan yang dapat berubah menjadi tempat pembantaian. Sangat dapat dimengerti bila mayoritas penyintas pemerkosaan memilih untuk diam.

Negara ini butuh kesadaran lebih akan kasus ini. Disamping perkembangan teknologi dan pendidikan, perlu adanya perkembangan kepekaan sosial. Percuma saja negara ini memiliki segalanya tetapi kehilangan moral dasar. Bagaimana mungkin negara ini dapat sejahtera bila masyarakatnya saja tidak memiliki kapasitas moral yang baik. Sebagai seorang individu, kita juga harus memiliki kepekaan lebih kepada kasus ini, terlebih lagi kepada para penyintas pemerkosaan. Jangan berpikir bahwa ini tidak terjadi kepada diri kalian, maka tak perlu untuk peduli.Toh ini adalah kasus yang tidak ada hubungannya dengan diri. Salah besar! Bayangkan bila kasus ini terjadi kepada orang terdekatmu, akankah kamu bungkam dan bersikap bodo amat? Saya rasa bila kita masih memiliki moral, kita tidak akan terdiam. Mari suarakkan kebenaran di tengah kesunyian ketidakadilan! 






sumber: 
https://www.pexels.com/photo/attractive-beautiful-beauty-black-and-white-594421/






Comments

Popular Posts